TUGAS
Metodologi Pengembangan Motorik Anak
Usia Dini
Disusun oleh:
Meilianisa 1201155021
Pertumbuhan dan Perkembangan
Objek psikologi adalah perkembangan manusia sebagai pribadi. Pengertian perkembangan menunjukkan pada suatu proses kearah yang lebih sempurna dan tidak begitu saja dapat diulang kembali. Pertumbuhan berkaitan dengan perubahan fisik seseorang, sedangkan perkembangan berkaitan dengan perubahan psikis seseorang. Proses pertumbuhan dan perkembangan berbeda antara manusia yang satu dengan yang lain. Faktor hereditas serta faktor lingkungan sangat memepengaruhi pertumbuhan dan perkembangan. Faktor hereditas mengarah pada genetis individu yang pastinya berbeda antara yang satu dengan yang lain Faktor hereditas tidak dapat di ubah karena itu adalah faktor yang sudah ada ketika kita lahir dan akan terus ada. Faktor lingkungan sangat berpengaruh dalam perkembangan karena anak pada saat mulai berkembang tentunya berada pada lingkungan tertentu, baik itu lingkungan keluarga maupun lingkungan masyarakat, di lingkungan masyarakat kita mulai beradaptasi dengan orang banyak mulai mengenal bagaimana hidup berdampingan dengan orang banyak, dan bagaimana kita bisa menyikapi hal- hal yang ada dalam masyarakat baik itu hal yang positif maupun hal yang negatif
Objek psikologi adalah perkembangan manusia sebagai pribadi. Pengertian perkembangan menunjukkan pada suatu proses kearah yang lebih sempurna dan tidak begitu saja dapat diulang kembali. Pertumbuhan berkaitan dengan perubahan fisik seseorang, sedangkan perkembangan berkaitan dengan perubahan psikis seseorang. Proses pertumbuhan dan perkembangan berbeda antara manusia yang satu dengan yang lain. Faktor hereditas serta faktor lingkungan sangat memepengaruhi pertumbuhan dan perkembangan. Faktor hereditas mengarah pada genetis individu yang pastinya berbeda antara yang satu dengan yang lain Faktor hereditas tidak dapat di ubah karena itu adalah faktor yang sudah ada ketika kita lahir dan akan terus ada. Faktor lingkungan sangat berpengaruh dalam perkembangan karena anak pada saat mulai berkembang tentunya berada pada lingkungan tertentu, baik itu lingkungan keluarga maupun lingkungan masyarakat, di lingkungan masyarakat kita mulai beradaptasi dengan orang banyak mulai mengenal bagaimana hidup berdampingan dengan orang banyak, dan bagaimana kita bisa menyikapi hal- hal yang ada dalam masyarakat baik itu hal yang positif maupun hal yang negatif
Pertumbuhan dalam konteks perkembangan merujuk pada
perubahan-perubahan yang bersifat kuantitatif, yaitu peningkatan dalam ukuran
dan struktur, seperti pertumbuhan badan, pertumbuhan kaki, kepala, jantung,
paru-paru, dan sebagainya. Pertumbuhan fisik bersifat meningkat, menetap, dan
kemudian mengalami kemunduran sejalan dengan bertambahnya usia. Dalam
pertumbuhan hanya mengacu pada fisik atau tubuh, hanya terbatas pada sifat
evolusi dan hanya pada batas waktu tertentu.
Dengan demikian, perkembangan lebih merujuk pada
kemajuan mental dan perkembangan rohani, sedangkan pertumbuhan lebih cenderung
menunjuk pada kemajuan fisik atau pertumbuhan tubuh yang melaju sampai pada
suatu titik optimum dan kemudian menurun menuju pada keruntuhannya.
Setiap perkembangan memiliki fase- fase dan tugas
perkembangan antara lain:
Masa Prenatal, masa dimana bayi dalam kandungan ibu
Masa Bayi, masa dimana anak lahir kedunia dan masih bergantung pada lingkungan maupun
orang sekitar
Masa Anak- anak, masa dimana mulai mengenal lingkungan dan sudah mulai mendapat pendidikan
yang utama yaitu pendidikan dari keluarga sebagai awal untuk menuju pendidikan
formal.
Masa Remaja, masa peralihan antara anak- anak menuju dewasa dan biasanya pada masa ini
mereka mulaimencari jati diri, bagaimana sebenarnya mereka, dan mau apa mereka
selanjutnya.
Masa dewasa, kondisi psikis mulai stabil, sudah bisa menyelesaikan
masalah dengan fikiran jernih dan hati yang tenang serta sudah bisa mengambil
sikap untuk masa depannya kelak.
Masa tua, dimana seseorang sudah mantap dengan jalan hidupnya dan apa yang di ambil
pada masa dulu, pada masa ini kondisi fisik dan psikis sudah mulai menurun cara
kerjanya.
Pada hakikatnya fase dan tugas perkembangan individu itu sama yang
membedakan adalah waktu dalam perkembangannya,dan fase yang mempengaruhinya
adalah faktor internal yang biasanya hanya dimiliki oleh individu tersebut,
atau menjadi ciri khas masing- masing individu. Dan yang kedua adalah faktor
eksternal yang biasanya dapat berubah karena pengaruh dari luar atau sesuatu
yang mampu merubah hal itu.
Perkembangan tidak hanya terbatas pada perubahan
mental saja, tetapi ada penyebab akibat terjadinya perkembangan dalam diri
manusia disebut prinsip- prinsip perkembangan. Macam- macam prinsip
perkembangan adalah:
1. Perkembangan tidak terbatas pada dalam arti tumbuh menjadi besar, namun
mencakup rangkaian perubahan yang bersifat progesif, teratur, koheren, dan
saling berkesinambungan.
2. Perkembangan menuju proses berdiferensiasi dan integrasi.
3. Perkembangan dimulai dari respons- respons yang bersifat umum menuju yang
khusus.
4. Tahap perkembangan manusia berlangsung berantai dan bersifat universal.
5. Perkembangan pada anak mempunyai tempo kecepatan yang berbeda-beda,baik
dalam organ atau aspek kejiwaannya maupun cepat lambatnya perkembangan tersebut
dan tempo perkembangan terbagi menjadi 3 kategori yaitu: cepat, sedang, dan
lambat.
6. Perkembangan manusia tidak tetap, kadang naik kadang turun.
7. Perkembangan dipengaruhi oleh faktor hereditas dan faktor lingkungan.
8. Dalam perkembangan terdapat masa peka.
TEORI PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN MANUSIA
·
ERIK H. ERIKSON
Erikson mengembangkan dua filosofi dasar berkenaan dengan perkembangan,
yaitu:
1. Dunia bertambah besar seiring dengan diri kita.
2. Kegagalan bersifat kumulatif.
Dalam pengertian Erikson, kegagalan yang terjadi pada sebuah stage
perkembangan akan menghambat sebuah proses perkembangan ke stage berikutnya.
Kegagalan ini tidak lantas hilang dengan sendirinya, bahkan terakumulasi dalam
stage perkembangan berikutnya.
Dari penelitiannya, Erikson yang penganut Freudian (karena menggunakan
konsep ego) ini melihat bahwa jalur perkembangan merupakan interaksi antara
tubuh (pemrograman biologi genetika), pikiran (aspek psikologis), dan pengaruh
budaya.
Erikson mengelompokkan tahapan kehidupan ke dalam 8 stage yang merentang
sejak kelahiran hingga kematian.
1.
Tahap Bayi (Infancy): Sejak lahir hingga usia
18 bulan.
-
Hasil perkembangan ego: trust vs mistrust (percaya vs tidak percaya)
-
Kekuatan dasar: Dorongan dan harapan
Periode ini disebut juga dengan tahapan sensorik oral, karena orang biasa
melihat bayi memasukkan segala sesuatu ke dalam mulutnya. Sosok Ibu memainkan
peranan terpenting untuk memberikan perhatian positif dan penuh kasih kepada
anak, dengan penekanan pada kontak visual dan sentuhan. Jika periode ini
dilalui dengan baik, bayi akan menumbuhkan perasaan trust (percaya) pada
lingkungan dan melihat bahwa kehidupan ini pada dasarnya baik. Sebaliknya, bila
gagal di periode ini, individu memiliki perasaan mistrust (tidak percaya) dan
akan melihat bahwa dunia ini adalah tempat yang mengecewakan dan penuh
frustrasi. Banyak studi tentang bunuh diri dan usaha bunuh diri yang
menunjukkan betapa pentingnya pembentukan keyakinan di tahun-tahun awal
kehidupan ini. Di awal kehidupan ini begitu penting meletakkan dasar perasaan
percaya dan keyakinan bahwa tiap manusia memiliki hak untuk hidup di muka bumi,
dan hal itu hanya bisa dilakukan oleh sosok Ibu, atau siapapun yang dianggap
signifikan dalam memberikan kasih sayang secara tetap.
2.
Tahap Kanak-Kanak Awal (Early Childhood): 18
Bulan hingga 3 tahun
-
Hasil perkembangan ego: autonomy vs shame (otonomi vs rasa malu)
-
Kekuatan dasar: Pengendalian diri, keberanian, dan kemauan (will)
Selama tahapan ini individu mempelajari ketrampilan untuk diri sendiri.
Bukan sekedar belajar berjalan, bicara, dan makan sendiri, melainkan juga
mempelajari perkembangan motorik yang lebih halus, termasuk latihan yang sangat
dihargai: toilet training. Di masa ini, individu berkesempatan untuk
belajar tentang harga diri dan otonomi, seiring dengan berkembangnya kemampuan
mengendalikan bagian tubuh dan tumbuhnya pemahaman tentang benar dan salah.
Salah satu ketrampilan yant muncul di periode adalah kemampuan berkata TIDAK.
Sekalipun tidak menyenangkan orang tua, hal ini berguna untuk pengembangan
semangat dan kemauan.
Di sisi lain, ada kerentanan yang bisa terjadi dalam periode ini, khususnya
berkenaan dengan kegagalan dalam proses toilet training atau mempelajari skill
lainnya, yang mengakibatkan munculnya rasa malu dan ragu-ragu. Lebih jauh,
individu akan kehilangan rasa percaya dirinya.
3.
Tahap Usia Bermain (Play Age): 3 hingga 5 tahun
-
Hasil perkembangan ego: initiative vs guilt (inisiatif vs rasa bersalah)
-
Kekuatan dasar: Tujuan
Pada periode ini, individu biasanya memasukkan gambaran tentang orang
dewasa di sekitarnya dan secara inisiatif dibawa dalam situasi bermain. Anak
laki-laki bermain dengan kuda-kudaan dan senapan kayu, anak perempuan main
“pasar-pasaran” atau boneka yang mengimitasi kehidupan keluarga, mobil-mobilan,
handphone mainan, tentara mainan untuk bermain peran, dsb. Di masa ini, muncul
sebuah kata yang sering diucapkan seorang anak:”KENAPA?”
Sesuai dengan konsep Freudian, di masa ini anak (khususnya laki-laki) juga
sedang berjuang dalam identitas gender-nya yang disebut “oedipal struggle”.
Kita sering melihat anak laki-laki yang bermain dengan alat kelaminnya, saling
menunjukkan pada sesama anak laki-laki, atau bahkan menunjukkan pada anak
perempuan sebaya. Kegagalan melalui fase ini menimbulkan perasaan bersalah.
Hubungan yang signifikan di periode ini adalah dengan keluarga inti (ayah,
ibu, dan saudara).
4.
Tahap Usia Sekolah (School Age): Usia 6 – 12 tahun
-
Hasil perkembangan ego: Industry vs Inferiority (Industri vs Inferioritas)
-
Kekuatan dasar: Metode dan kompetensi
Periode ini sering disebut juga dengan periode laten, karena individu
sepintas hanya menunjukkan pertumbuhan fisik tanpa perkembangan aspek mental
yang berarti, berbeda dengan fase-fase sebelumnya. Kita bisa simak, dalam
periode sebelumnya pertumbuhan dan perkembangan berbilang bulan saja untuk
manusia agar bisa tumbuh dan berkembang.
Ketrampilan baru yang dikembangkan selama periode ini mengarah pada sikap
industri (ketekunan belajar, aktivitas, produktivitas, semangat, kerajinan,
dsb), serta berada di dalam konteks sosial. Bila individu gagal menempatkan
diri secara normal dalam konteks sosial, ia akan merasakan ketidak mampuan dan
rendah diri.
Sekolah dan lingkungan sosial menjadi figur yang berperan penting dalam
pembentukan ego ini, sementara orang tua sekalipun masih penting namun bukan
lagi sebagai otoritas tunggal.
5.
Tahap Remaja (Adolescence): Usia 12 hingga 18 tahun
-
Hasil perkembangan ego: Identity vs Role confusion (identitas vs
kebingungan peran)
-
Kekuatan dasar: devotion and fidelity (kesetiaan dan ketergantungan)
Bila sebelumnya perkembangan lebih berkisar pada apa yang dilakukan
untuk saya, sejak stage perkembangan ini perkembangan tergantung pada apa
yang saya kerjakan. Karena di periode ini individu bukan lagi anak tetapi
belum menjadi dewasa, hidup berubah sangat kompleks karena individu berusaha
mencari identitasnya, berjuang dalam interaksi sosial, dan bergulat dengan
persoalan-persoalan moral.
Tugas perkembangan di fase ini adalah menemukan jati diri sebagai individu
yang terpisah dari keularga asal dan menjadi bagian dari lingkup sosial yang
lebih luas. Bila stage ini tidak lancara diselesaikan, orang akan mengalami
kebingungan dan kekacauan peran.
Hal utama yang perlu dikembangkan di sini adalah filosofi kehidupan. Di
masa ini, seseorang bersifat idealis dan mengharapkan bebas konflik, yang pada
kenyataannya tidak demikian. Wajar bila di periode ada kesetiaan dan
ketergantungan pada teman.
6.
Tahap Dewasa Awal (Young Adulthood): Usia 18 hingga 35
tahun
-
Hasil perkembangan ego: Solidarity vs Isolation (Solidaritas vs isolasi)
-
Kekuatan dasar: affiliation and love (kedekatan dan cinta)
Langkah awal menjadi dewasa adalah mencari teman dan cinta. Hubungan yang
saling memberikan rasa senang dan puas, utamanya melalui perkawinan dan
persahabatan. Keberhasilan di stage ini memberikan keintiman di level yang
dalam.
Kegagalan di level ini menjadikan orang mengisolasi diri, menjauh dari
orang lain, dunia terasa sempit, bahkan hingga bersikap superior kepada orang
lain sebagai bentuk pertahanan ego.
Hubungan yang signifikan adalah melalui perkawinan dan persahabatan.
7.
Tahap Dewasa (Middle Adulthood): Usia 35 hingga 55
atau 65tahun
-
Hasil perkembangan ego: Generativity vs Self Absorption or Stagnation
-
Kekuatan dasar: production and care (produksi dan perhatian)
Masa ini dianggap penting karena dalam periode inilah individu cenderung
penuh dengan pekerjaan yang kreatif dan bermakna, serta berbagai permasalahan
di seputar keluarga. Selain itu adalah masa “berwenang” yang diidamkan sejak
lama.
Tugas yang penting di sini adalah mengejawantahkan budaya dan meneruskan
nilai budaya pada keluarga (membentuk karakter anak) serta memantapkan
lingkungan yang stabil. Kekuatan timbul melalui perhatian orang lain, dan karya
yang memberikan sumbangan pada kebaikan masyarakat, yang disebut dengan
generativitas. Jadi di masa ini, kita takut akan ketidak aktifan dan ketidak
bermaknaan diri.
Sementara itu, ketika anak-anak mulai keluar dari rumah, hubungan
interpersonal tujuan berubah, ada kehidupan yang berubah drastic, individu
harus menetapkan makna dan tujuan hidup yang baru. Bila tidak berhasil di stage
ini, timbullah self-absorpsi atau stagnasi.
Yang memainkan peranan di sini adalh komunitas dan keluarga.
8.
Tahap Dewasa Akhir (Late Adulthood): Usia 55 atau
65tahun hingga mati
-
Hasil perkembangan ego: Integritas vs Despair (integritas vs keputus asaan)
-
Kekuatan dasar: wisdom (kebijaksanaan)
Orang berusia lanjut yang bisa melihat kembali masa-masa yang telah
dilaluinya dengan bahagia, merasa tercukupi, dan merasa telah memberikan
kontribusi pada kehidupan, ia akan merasakan integritas. Kebijaksanaannya yang
tumbuh menerima keluasan dunia dan menjelang kematian sebagai kelengkapan
kehidupan.
Sebaliknya, orang yang menganggap masa lalu adalah kegagalan merasakan
keputus asaan, belum bisa menerima kematian karena belum menemukan makna
kehidupan. Atau bisa jadi, ia merasa telah menemukan jati diri dan meyakini
sekali bahwa dogma yang dianutnyalah yang paling benar.
PsikodinamikA
adalah teori dan
kajian tentang sistem kuasa psikologi tindak tanduk manusia, terutamnya yang
berkaitan dengan kesedaran dan ketidaksedaran mental. Ahli psikologi Sigmund
Freud telah membangunkan teori psikodinamik dalam mengambarkan ‘proses fikiran’
(minda) yang didorong oleh daya psikologikal ‘libido’ (nafsu berahi yang
bersifat nurani)
Psikodinamika juga adalah gabungan daripada psikologi dan
dinamik. Psikologi adalah kajian tentang proses mental dan fikiran terutamanya
berhubungan dengan perlakuan manusia dan sesuatu kumpulan tertentu , manakala
dinamik pula adalah bertenaga dan berkekuatan yang mampu membuat penyesuaian
serta menerbitkan pembaharuan dan juga kemajuan. Oleh yang demikian psikologi
dinamik adalah kajian tentang hubungan antara pelbagai bahagian minda,
personaliti atau psikik yang berhubung rapat dengan mental, emosi dan motivasi
terutamanya pada alam bawah sedar.
Daya mental yang
terlibat dalam psikodinamik selalunya dibahagikan kepada dua iaitu yang pertama
daya interaksi emosi iaitu interaksi yang membangkitkan daya emosi dan motivasi
yang mempengaruhi perilaku dan cara berfikir terutama di tahap separuh sedar,
kedua daya batiniah yang mempengaruhi perilaku yang juga yang membangkitkan
daya emosi dan motivasi yang mempengaruhi perilaku dan cara berfikir
Psikodinamik mempunyai
beberapa ciri-ciri antaranya (i) tingkahlaku dan perasaan kita dikuasai oleh
rangsangan separuh sedar, (ii) tingkahlaku dan perasaan orang dewasa (termasuk
yang mempunyai masalah psikologi) adalah berakar daripada pengalaman beliau
semasa kecil, (iii) semua tingkahlaku mempunyai sebab (biasanya tidak sedar)
malah apabila kita tersilap berkata-kata semuanya ditentukan oleh tingkahlaku,
(iii) personaliti dibahagikan kepada tiga iaitu id, ego dan superego,(iv)
Tingkah laku digerakkan oleh daya naluri, Eros (nafsu berahi dan naluri hidup)
dan Thantos (agresif dan naluri mati). Kedua-duanya dipandu oleh ‘id’. (v)
Sebahagian daripada minda tidak sedar (id dan superego) adalah
sentiasa berkonflik dengan daya sedar (ego) dan personaliti dibentuk dan
dipandu daripada konflik yang berbeza diwaktu kecil (semasa perkembangan
psikoseksual).
Walaupun psikodinamik
adalah salah satu kajian secara klinikal dalam teori psikoanalisis yang
mempraktikkan kajian secara psikoanalitik, ianya telah di perkembangkan oleh
pengikut-pengikut Freud yang lain seperti Carl Jung (1964), Adler (1927), dan
Erikson (1952). Kini di abad ke 21 ini psikodinamik melibatkan pelbagai bidang
disiplin dimana ia adalah proses menganalisa dan membuat pengkajian manusia,
tindakbalas terhadap corak dan pengaruh. Penyelidikan dalam bidang ini
melibatkan pemahaman kepada kita dalam memahami tindakbalas-tindakbalas
tertentu terhadap kesedaran dan ketidaksedaran daripada kederiaan kita pada
imej, jalinan, bunyi dan lain-lain.
Sungguhpun begitu
kajian tentang ini juga terdapat didalam kesenian tradisi orang Melayu sejak
menduduki nusa tenggara ini sejak beratus-ratus tahun dahulu yang tidak dikaji
secara saintifik seperti psikilogi tindak tanduk manusia didalam seni
pergerakan silat, tarian malah dalam seni persembahan wayang kulit dan untuk
mengubati penyakit seperti mak yong juga dilihat diantara antara dunia sedar
dan tidak sedar ini silih berganti melalui asyiknya pergerakan tubuh. Malah
istilah amuk itu sendiri begitu unik sekali kerana ia hanya ada di dalam jiwa
orang Melayu sahaja yang tidak ada didalam budaya bangsa lain, dan tidak
hairanlah terma amuk diberi juga maksud amok yang dalam kamus bahasa
lain yang maksud berjuang, bertempur atau bertikam yang boleh dikaitkan dengan
gerak geri minda separa sedar Melayu.
'Pursuit of Happiness' 2011
Salah satu yang
terdapat pada teori psikodinamik adalah mempunyai memiliki pemahaman
perkembangan zaman kanak-kanak dengan lebih mendalam Dalam karya-karya Ali
Nurazmal beliau menggunakan imejan-imejan figuratif kanak-kanak dalam setiap
catannya. Karya-karya Ali dilihat seolah-olah beliau beremosi kembali pada
pengalaman kanak-kanak yang pernah dilaluinya. Dalam karya catan ‘ ‘ misalnya
terdapat tiga figura tubuh kanak-kanak, disebelah bahagian kiri terdapat potret
muka seorang kanak-kanak dicat merah mukanya seolah-olah sedang mengalami
histeria menjeritkan berkehendakan sesuatu, dibahagian tengah terdapat postur
kanak-kanak yang berpakaian sut kemas yang sedang mengayakan seperti seni
mempertahankan diri kung-fu yang terdapat kapal terbang mainan berterbangan
disisinya, manakala dibahagian kanan sekali juga ada seorang budaya yang
seolah-oleh sedang menaiki belon yang dikelilingi oleh awan seolah-olah sedang
terbang diudara, Ali seperti yang saya nyatakan dalam ciri-ciri kedua
psikodinamik iaitu tingkahlaku dan perasaan orang dewasa (termasuk yang
mempunyai masalah psikologi) adalah berakar daripada pengalaman beliau semasa
kecil dengan menggunakan catan dalam meneroka keinginnnya alam bawah sedar itu.
Dalam karya-karya Arif Fauzan beliau lebih percaya menggunakan figura diri, bayang-bayang diri beliau terjelma dalam catan ‘Grave Digger’, ‘Keep Grounded’ dan ‘What Behind Your Back’ dilihat Arif seperti berada di alam minda tidak sedar id dan superego yang sentiasa berkonflik dengan daya sedar atau ego yang berada di dalam personaliti beliau yang sebenar yang dibentuk dalam setiap catan itu. Dalam ‘The Little Thinker’ dua imej yang dilukis bertentangan diatas wajahnya diwaktu kecil seperti sedang memikirkan bersama buku tebal (seolah gerak perlakuan orang dewasa) manakala dibahagian bawah pula seperti beliau sedang menyampaikan slogan dan retorika daripada buku diatas tadi (waktu kecil) beliau dilihat berkonflik dengan waktu iaitu diantara dengan keinginan beliau yang berbeza diwaktu kecil semasa perkembangan psikoseksual. Kebanyakan karya beliau ingin menjadi diri sendiri (‘real self’ dan ‘ideal self’) yang diresap oleh budaya massa disekitarnya.
Dalam karya-karya Arif Fauzan beliau lebih percaya menggunakan figura diri, bayang-bayang diri beliau terjelma dalam catan ‘Grave Digger’, ‘Keep Grounded’ dan ‘What Behind Your Back’ dilihat Arif seperti berada di alam minda tidak sedar id dan superego yang sentiasa berkonflik dengan daya sedar atau ego yang berada di dalam personaliti beliau yang sebenar yang dibentuk dalam setiap catan itu. Dalam ‘The Little Thinker’ dua imej yang dilukis bertentangan diatas wajahnya diwaktu kecil seperti sedang memikirkan bersama buku tebal (seolah gerak perlakuan orang dewasa) manakala dibahagian bawah pula seperti beliau sedang menyampaikan slogan dan retorika daripada buku diatas tadi (waktu kecil) beliau dilihat berkonflik dengan waktu iaitu diantara dengan keinginan beliau yang berbeza diwaktu kecil semasa perkembangan psikoseksual. Kebanyakan karya beliau ingin menjadi diri sendiri (‘real self’ dan ‘ideal self’) yang diresap oleh budaya massa disekitarnya.
'Studies for Sedekad
Kita' 2011'Sedekad Kita' 2011
Apa yang menarik dalam
karya Hushinaidi Abd Hamid adalah kedua-dua karya ‘Sedekad Kita’ 2011. Dalam
karya lukisan kajian dengan menggunakan pastel minyak di atas kertas beliau
menggunakan model orang muda yang sedang duduk diatas kerusi disamping sebelah
kaki diletakkan diatas kerusi dan disetkan juga seulas buah pisang diatas
lutut, sungguhpun karya ini lebih menitikberatkan kemahiran kekuatan figuratif
yang dikawal rapi dari segi proposi, kadar banding dan pengcahayaan namun jika
kita bandingkan dengan catan ‘Sedekad Lalu’ iaitu cat minyak diatas kanvas yang
mungkin mengambarkan model yang sama tetapi setelah usianya ditelan berdekad
tahunnya yang telah tua, begitu juga dengan seulas pisang tadi. Husnaidi
mengambil buah pisang sebagai simbol yang merupakan nutrien penting dalam
pembinaan otot terutamanya dibahagian reproduktif manusia dalam teori
psikodinamik idea pengkaryaan beliau ini yang didorong oleh daya psikologikal
libido atau nafsu berahi. Sungguhpun begitu dalam hasil karya Carl Jung
pengertiannya lebih umum daripaa ghairah seksual yang diperkenalkan oleh Freud.
Jung mengatakan libido juga adalah kuasa psikik (berkaitan jiwa dan fikiran
manusia) yang dimiliki individu untuk digunakan bagi perkembangan peribadi atau
individu, disini saya boleh mengatakan bahawa Hushinaidi berjaya menggabungkan
kedua-dua psikodinamik dan tubuh dalam pengkaryaannya.
‘Form Study Sleeping’ 2011
‘Sleeping’ 2011
Dalam karya Uzaini
Amir yang bertajuk ‘Sleeping’ iaitu wajah seorang tua yang kelihatan sedang
tidur. Tidur adalah tabiat semulajadi manusia yang berkaitan
terhentinya sementara aktiviti kederiaan manusia dan tidak mengaktifkan hampir
seluruh urat saraf kita. Ia adalah satu tindakbalas senyap yang mengecilkan
kemampuan kita bereaksi terhadap tindakbalas rangsangan dan boleh disamakan
dengan koma atau (tidak sedarkan diri). Tidur juga meremajakan semula
imunisasi, saraf, kerangka tulang dan sistem-sistem otot manusia. Tidur sering
dikaitkan dengan mimpi, bermimpi adalah pengalaman kederiaan kita dalam
memahami imej-imej dan bunyi-bunyi semasa tidur.
Manusia membuat
pelbagai andaian dan hipotesis mengenai mimpi dalam tidur misalnya dalam karya
Freud yang bertajuk ‘The Interpretation of Dreams’ dimana dalam buku itu
beliau memperkenalkan teori ‘tidak sedarkan diri’ (unconscious) dalam membuat
interpritasi terhadap mimpi. Beliau juga menanggap mimpi dalam tidur adalah
ekspresi simbol kepada hasrat yang terkecewa dalam minda tanpa sedar dimana
beliau menggunakan teknik klinikal psikoanalisis dalam membuat interpritasi
terhadap mimpi untuk mendedahkan rahsia mimpi itu tadi. Pada pandangan Freud
mimpi adalah ‘komunikasi secara ghaib’ (supernatural communication) iaitu
aktiviti keinginan atau perkara yang ingin dihajati atau ditunaikan yakni
percubaan minda tidak sedar dalam menghuraikan sesuatu konflik samada yang
berlaku kini atau yang telah lepas. Dalam karya ‘Sleeping’ atau tidur ia boleh
dikaitkan dengan aktiviti tidak sedar diri oleh manusia apabila keletihan dan
mengantuk. Uzaini terlebih dahulu melakukan pengkajian rupa bentuk figura
seorang tua yang memejamkan matanya dengan menggunakan pastel. Penyelidikan
anatomi muka ini kemudiannya diterjemahkan kedalam cat minyak yang lebih
menampakkan bentukan raut pada wajah muka seorang tua itu tadi.
Kesimpulannya
karya-karya dalam pameran berkumpulan ‘Figuratif Psikodinamik’ oleh Ali
Nurazmal Yusoff, Arif Fauzan, Hushinaidi Abd Hamid dan Uzaini Amir adalah
cerminan kebersamaan kepada pergolakan mental pencipta seni terhadap psikologi
terhadap pengalaman dunia mereka. Pengkaryaan mereka telah memungkinkan saya juga
memperkenalkan terma baru dalam menambahkan lagi nahu bidang seni lukis tubuh
itu sendiri iaitu ‘figuratif psikodinamik’ bermaksud tindakbalas mental separuh
sedar artis terhadap pengkajian tubuh manusia berdasarkan teori psikodinamik.
Teori Perkembangan
Kognitif Jean Piaget.
Menurut Piaget, proses pemikiran kita berubah secara
menyeluruh bermula selepas lahir sehingga kita mencapai kematangan. Setiap
individu akan sentiasa mencuba untuk memahami dan mengadaptasi
perubahan-perubahan yang berlaku di persekitaran mereka. Piaget mengenalpasti
empat faktor yang saling berkait yang boleh mempengaruhi proses pemikiran
individu.
- Kematangan biologi. Proses pemikiran yang dipengaruhi oleh faktor
baka/genetik.
- Interaksi individu dengan persekitaran. Individu berinteraksi
dengan persekitaran untuk memahami perkara-perkara yang berlaku. Mereka
akan meneroka, menguji, memerhati dan menyusun maklumat yang didapati.
- Pengalaman sosial. Perkembangan kognitif juga dipengaruhi oleh
pergaulan individu dengan orang-orang di persekitaran : ibu bapa, adik
beradik, rakan, guru dan sebagainya.
- Keseimbangan. Proses keseimbangan adalah merupakan salah satu cara
yang digunakan oleh individu untuk mengadaptasi dengan situasi-situasi
yang baru dialami.
Proses mencapai keseimbangan.
- Menurut Piaget, setiap individu cenderung untuk memahami
persekitaran mereka.
- Kita sentiasa cenderung untuk memahami sesuatu situasi, dalam
menyelesaikan sesuatu kekusutan.
- Kita akan berasa kurang selesa sekiranya berdepan dengan sesuatu
keadaan yang tidak menentu atau keadaan yang tidak dijangka.
- Ketidakselesaan ini akan mendorong individu mencari penyelesaian
atau keseimbangan.
- Setiap kali individu memperolehi sesuatu pengalaman, mereka akan
menyusun pengalaman-pengalaman ini di dalam minda masing-masing dan
membentuk satu sistem yang dipanggil skema.
- Proses penyusuan dan pembentukan skema ini dipanggil organisasi.
- Skema-skema ini akan digunakan oleh individu apabila mereka
berdepan dengan sesuatu situasi yang memerlukan penyelesaian.
- Pembentukkan skema bermula sebaik sahaja seseorang individu
dilahirkan. Ia bermula dengan pembentukan skema yang mudah kemudian
beransur kepada skema yang lebih kompleks.
- Contohnya: bayi membentuk skema untuk mencapai sesuatu objek,
kanak-kanak membina skema-skema untuk mengkategori sesuatu benda atau
skema untuk mengenal huruf. Anda membentuk skema untuk memandu atau memasak.
- Dalam banyak situasi, skema-skema yang dibentuk ini akan berdepan
dengan situasi yang baru.
- Contohnya: kanak-kanak yang telah mengenal huruf berdepan dengan
situasi baru untuk menyusun huruf-huruf tersebut membentuk perkataan. Anda
yang mempunyai skema untuk memasak nasi putih akan buntu sekiranya diminta
memasak nasi tomato.
- Dalam situasi-situasi yang baru ini, individu akan berdepan dengan
masalah.
- Mereka perlu mengubahsuai skema lama kepada skema baru di panggil
adaptasi.
- Adaptasi melibatkan dua proses yang saling berkait iaitu asimilasi
dan akomodasi.
- Asimilasi berlaku apabila individu cuba memahami pengalaman baru
dan cuba untuk menyesuaikan pengalaman ini dengan skema-skema yang telah
sedia ada.
- Contoh: dalam mengenal huruf, kanak-kanak mungkin akan menyatakan
‘d’ sebagai ‘b’ apabila diperkenalkan. Melalui pengalaman dan bimbingan,
kanak-kanak akan cuba memadankan pengetahuan baru ini dengan skema lama
yang telah ada.
2. Teori Vygotsky
Menurut Vygotsky, anak
secara aktif menciptakan pengalaman mereka sendiri.
Vygotsky memberikan
peran yang lebih penting pada interaksi sosial dan budaya dalam
perkembangan kognitif
anak. Dengan kata lain, perkembangan kognitif anak sebagai
sesuatu yang tidak
terpisahkan dari akt
ivitas sosial dan
budaya. Vygotsky percaya bahwa
perkembangan
ingatan/memori, atensi, dan penalaran, mencakup
belajar menggunakan
penemuan masyarakat
seperti bahasa, sistem matematis, dan strategi ingatan.
Menurut
teori ini pengetahuan
tidak dihasilkan da
ri dalam diri
individu, melainkan dibangun
melalui interaksi
dengan orang lain dan benda budaya, seperti buku. Ini menunjukkan
bahwa pemahaman dapat
ditingkatkan melalui interaksi dengan orang lain dalam
aktivitas yang
kooperatif
(Santrock, 2002 dan
2008)
.
Lebih lanjut
Vygotsky
(Santrock, 2002 dan 2008)
menegaskan bahwa
secara aktif anak
-anak menyusun
pengetahuan dan mengembangkan konsep
-konsep mereka secara
sistematis, logis dan rasional yang diperoleh dari koneksi
-koneksi sosial dengan
orang lainyang kompeten. Jadi dalam teori Vygotsky orang lain dan bahasa
,memegang peranan
penting dalam perkembangan kognitif anak. Interaksi sosial anak dengan orang
dewasa yang lebih terampil danteman sebaya, akan meningkatkan
perkembangankognitifnya. Melalui interaksi ini pula anggota masyarakat yang
kurang terampil dapat belajar dari anggota masyarakat lain untuk beradaptasi
dan berhasil di masyarakatyang lebih luas.
Teori Belajar Menurut Watson
Watson
mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon, namun
stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan dapat
diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri
seseorang selama proses belajar, namun dia menganggap faktor tersebut sebagai
hal yang tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat diamati. Watson adalah
seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan
ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang sangat
berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati
dan diukur.
Teori Belajar Menurut Clark Hull
Clark
Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk
menjelaskan pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi
Charles
Darwin.
Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat
terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull
mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive
reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan
manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun hampir selalu
dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin
dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah laku juga masuk dalam teori ini,
tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis (Bell, Gredler, 1991).
Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie
Azas
belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan
stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali
cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama (Bell, Gredler, 1991). Guthrie
juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan
terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang
dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat
terjadi. Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak
hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara
stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karena dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin
diberi stimulus agar hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan
menetap. Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang
peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang
tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang.
Saran
utama dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus respon
secara tepat. Pebelajar harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari.
Dalam mengelola kelas guru tidak boleh memberikan tugas yang mungkin diabaikan
oleh anak (Bell, Gredler, 1991).
Teori Belajar Menurut Skinner
Konsep-konsep
yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh
sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun lebih komprehensif. Menurut Skinner hubungan antara stimulus
dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian
menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh
tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak
sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling
berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan memengaruhi respon yang
dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi.
Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya memengaruhi munculnya perilaku
(Slavin, 2000). Oleh karena itu dalam memahami tingkah laku seseorang secara
benar harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta
memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin
timbul akibat respon tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan
menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah
laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat yang digunakan
perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya.
Analisis Tentang Teori Behavioristik
Kaum
behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah
laku dimana reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk
merangsang pebelajar dalam berperilaku. Pendidik yang masih menggunakan
kerangka behavioristik biasanya merencanakan kurikulum dengan menyusun isi
pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu keterampilan
tertentu. Kemudian, bagian-bagian tersebut disusun secara hirarki, dari yang
sederhana sampai yang komplek (Paul, 1997).
Pandangan
teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Namun dari
semua teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap
perkembangan teori belajar behavioristik. Program-program pembelajaran seperti Teaching
Machine, Pembelajaran berprogram, modul dan program-program pembelajaran
lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan
faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program pembelajaran
yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan Skiner.
Teori
behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan situasi
belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan
pendidikan dan/atau belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus
dan respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang
terjadi dalam hubungan stimulus dan respon.
Pandangan
behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi
pebelajar, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan
ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan
pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu
pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat
kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan respon
yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau
perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut.
Teori
behavioristik juga cenderung mengarahkan pebelajar untuk berfikir linier,
konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar
merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa pebelajar menuju atau
mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik tidak bebas
berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang memengaruhi proses
belajar, proses belajar tidak sekedar pembentukan atau shaping.
Skinner
dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik memang tidak menganjurkan
digunakannya hukuman dalam kegiatan pembelajaran. Namun apa yang mereka sebut
dengan penguat negatif (negative reinforcement) cenderung membatasi
pebelajar untuk berpikir dan berimajinasi.
Menurut
Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar. Namun ada
beberapa alasan mengapa Skinner tidak sependapat dengan Guthrie, yaitu:
- Pengaruh hukuman
terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat sementara;
- Dampak psikologis
yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari jiwa si terhukum)
bila hukuman berlangsung lama;
- Hukuman yang
mendorong si terhukum untuk mencari cara lain (meskipun salah dan buruk)
agar ia terbebas dari hukuman. Dengan kata lain, hukuman dapat mendorong
si terhukum melakukan hal-hal lain yang kadangkala lebih buruk daripada
kesalahan yang diperbuatnya.
Skinner
lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat negatif
tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman harus
diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang muncul berbeda dengan respon yang
sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar
respon yang sama menjadi semakin kuat. Misalnya, seorang pebelajar perlu
dihukum karena melakukan kesalahan. Jika pebelajar tersebut masih saja
melakukan kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu tidak
mengenakkan pebelajar (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan malah
ditambah) dan pengurangan ini mendorong pebelajar untuk memperbaiki
kesalahannya, maka inilah yang disebut penguatan negatif. Lawan dari penguatan
negatif adalah penguatan positif (positive reinforcement). Keduanya
bertujuan untuk memperkuat respon. Namun bedanya adalah penguat positif
menambah, sedangkan penguat negatif adalah mengurangi agar memperkuat respons.
===
Aplikasi Teori Behavioristik dalam Pembelajaran pendidikan agama Kristen.
Aliran
psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah pengembangan
teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran
behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak
sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus
responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon
atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata.
Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan
menghilang bila dikenai hukuman.
Aplikasi
teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal
seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar,
media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan
berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif,
pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi,
sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah
memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar
atau pebelajar. Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur
pengetahuan yag sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan
dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini
ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Pebelajar
diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang
diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus
dipahami oleh murid.
Demikian
halnya dalam pembelajaran, pebelajar dianggap sebagai objek pasif yang selalu
membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para
pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan
standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para
pebelajar. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar pebelajar diukur hanya
pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat tidak
teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi.
Implikasi
dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan
ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan
mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut
bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga
terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya pebelajar kurang mampu
untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.
Karena
teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi dan
teratur, maka pebelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan pada
aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan
dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih
banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam
penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan
keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang
pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai
penentu keberhasilan belajar. Pebelajar atau peserta didik adalah objek yang
berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh
sistem yang berada di luar diri pebelajar.
Tujuan
pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan
pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut
pebelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam
bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan
pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari
bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat,
sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib
dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku
wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.
Evaluasi
menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya
menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang
benar. Maksudnya bila pebelajar menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan
guru, hal ini menunjukkan bahwa pebelajar telah menyelesaikan tugas belajarnya.
Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran,
dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini
menekankan evaluasi pada kemampuan pebelajar secara individual.
Teori belajar behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman [1].
Teori
ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap
arah pengembangan teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran yang dikenal
sebagai aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku
yang tampak sebagai hasil belajar.
Teori
behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang
belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan
menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan
semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Belajar
merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin,
2000:143). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan
perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah
input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa
saja yang diberikan guru kepada pebelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau
tanggapan pebelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses
yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena
tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus
dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa
yang diterima oleh pebelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini
mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk
melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Faktor
lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan
(reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka
respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative
reinforcement) maka respon juga semakin kuat.
Beberapa
prinsip dalam teori belajar behavioristik, meliputi: (1) Reinforcement and
Punishment; (2) Primary and Secondary Reinforcement; (3) Schedules of
Reinforcement; (4) Contingency Management; (5) Stimulus Control in Operant
Learning; (6) The Elimination of Responses (Gage, Berliner, 1984).
Tokoh-tokoh
aliran behavioristik di antaranya adalah Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin
Guthrie, dan Skinner. Berikut akan dibahas karya-karya para tokoh aliran
behavioristik dan analisis serta peranannya dalam pembelajaran.
Daftar
isi [sembunyikan] 1 Teori Belajar Menurut Thorndike 2 Teori Belajar Menurut
Watson 3 Teori Belajar Menurut Clark Hull 4 Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie
5 Teori Belajar Menurut Skinner 6 Analisis Tentang Teori Behavioristik 7
Aplikasi Teori Behavioristik dalam Pembelajaran 8 Rujukan
[sunting] Teori Belajar Menurut Thorndike Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori koneksionisme (Slavin, 2000).
Ada
tiga hukum belajar yang utama, menurut Thorndike yakni (1) hukum efek; (2)
hukum latihan dan (3) hukum kesiapan (Bell, Gredler, 1991). Ketiga hukum ini
menjelaskan bagaimana hal-hal tertentu dapat memperkuat respon.
[sunting]
Teori Belajar Menurut Watson Watson mendefinisikan belajar sebagai proses
interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud
harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui
adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar,
namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu
diperhitungkan karena tidak dapat diamati. Watson adalah seorang behavioris
murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain
seperi Fisika atau Biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik
semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur.
Teori
Belajar Menurut Clark Hull Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara
stimulus dan respon untuk menjelaskan pengertian belajar. Namun dia sangat
terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori
evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar
organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan
biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction) adalah
penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga
stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan
kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud
macam-macam. Penguatan tingkah laku juga masuk dalam teori ini, tetapi juga dikaitkan
dengan kondisi biologis (Bell, Gredler, 1991).
Teori
Belajar Menurut Edwin Guthrie Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum
kontiguiti. Yaitu gabungan stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada
waktu timbul kembali cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama (Bell,
Gredler, 1991). Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon
untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan
terakhir yang dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon
lain yang dapat terjadi. Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang
baru agar tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru.
Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karena dalam
kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar
hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga
percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses
belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah
tingkah laku seseorang.
Saran
utama dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus respon
secara tepat. Pebelajar harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari.
Dalam mengelola kelas guru tidak boleh memberikan tugas yang mungkin diabaikan
oleh anak (Bell, Gredler, 1991).
Teori
Belajar Menurut Skinner Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar
lebih mengungguli konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep
belajar secara sederhana, namun lebih komprehensif. Menurut Skinner hubungan
antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya,
yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang
dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima
seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan
saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan memengaruhi respon
yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi.
Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya memengaruhi munculnya perilaku
(Slavin, 2000). Oleh karena itu dalam memahami tingkah laku seseorang secara
benar harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta
memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin
timbul akibat respon tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan
menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah
laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat yang digunakan
perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya.
Analisis
Tentang Teori Behavioristik Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai
suatu proses perubahan tingkah laku dimana reinforcement dan punishment menjadi
stimulus untuk merangsang pebelajar dalam berperilaku. Pendidik yang masih
menggunakan kerangka behavioristik biasanya merencanakan kurikulum dengan
menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu
keterampilan tertentu. Kemudian, bagian-bagian tersebut disusun secara hirarki,
dari yang sederhana sampai yang komplek (Paul, 1997).
Pandangan
teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Namun dari
semua teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap
perkembangan teori belajar behavioristik. Program-program pembelajaran seperti
Teaching Machine, Pembelajaran berprogram, modul dan program-program
pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta
mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program
pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan Skiner.
Teori
behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan situasi
belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan
pendidikan dan/atau belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus
dan respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang
terjadi dalam hubungan stimulus dan respon.
Pandangan
behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi
pebelajar, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan
ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan
pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu
pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat
kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan respon
yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau
perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut.
Teori
behavioristik juga cenderung mengarahkan pebelajar untuk berfikir linier,
konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar
merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa pebelajar menuju atau
mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik tidak bebas
berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang memengaruhi proses
belajar, proses belajar tidak sekedar pembentukan atau shaping.
Skinner
dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik memang tidak menganjurkan
digunakannya hukuman dalam kegiatan pembelajaran. Namun apa yang mereka sebut
dengan penguat negatif (negative reinforcement) cenderung membatasi pebelajar
untuk berpikir dan berimajinasi.
Menurut
Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar. Namun ada
beberapa alasan mengapa Skinner tidak sependapat dengan Guthrie, yaitu:
Pengaruh
hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat sementara; Dampak
psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari jiwa si
terhukum) bila hukuman berlangsung lama; Hukuman yang mendorong si terhukum
untuk mencari cara lain (meskipun salah dan buruk) agar ia terbebas dari
hukuman. Dengan kata lain, hukuman dapat mendorong si terhukum melakukan hal-hal
lain yang kadangkala lebih buruk daripada kesalahan yang diperbuatnya. Skinner
lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat negatif
tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman harus
diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang muncul berbeda dengan respon yang
sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar
respon yang sama menjadi semakin kuat. Misalnya, seorang pebelajar perlu
dihukum karena melakukan kesalahan. Jika pebelajar tersebut masih saja
melakukan kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu tidak
mengenakkan pebelajar (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan malah
ditambah) dan pengurangan ini mendorong pebelajar untuk memperbaiki kesalahannya,
maka inilah yang disebut penguatan negatif. Lawan dari penguatan negatif adalah
penguatan positif (positive reinforcement). Keduanya bertujuan untuk memperkuat
respon. Namun bedanya adalah penguat positif menambah, sedangkan penguat
negatif adalah mengurangi agar memperkuat respons.
Aplikasi
Teori Behavioristik dalam Pembelajaran Aliran psikologi belajar yang sangat
besar pengaruhnya terhadap arah pengembangan teori dan praktik pendidikan dan
pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini menekankan
pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori
behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang
belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan
menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan
semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan menghilang bila dikenai
hukuman.
Aplikasi
teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal
seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar,
media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan
berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif,
pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi,
sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah
memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau
pebelajar. Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan
yag sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah,
sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh
karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Pebelajar diharapkan akan memiliki
pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang
dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.
Demikian
halnya dalam pembelajaran, pebelajar dianggap sebagai objek pasif yang selalu
membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para
pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan
standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para
pebelajar. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar pebelajar diukur hanya pada
hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat tidak
teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi.
Implikasi
dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan
ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan
mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut
bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga
terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya pebelajar kurang mampu
untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.
Karena
teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi dan
teratur, maka pebelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan pada
aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan
dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih
banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam
penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan
keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang
pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai
penentu keberhasilan belajar. Pebelajar atau peserta didik adalah objek yang
berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh
sistem yang berada di luar diri pebelajar.
Tujuan
pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan
pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut
pebelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam
bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan
pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari
bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat,
sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib
dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku
wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.
Evaluasi
menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya
menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang
benar. Maksudnya bila pebelajar menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan
guru, hal ini menunjukkan bahwa pebelajar telah menyelesaikan tugas belajarnya.
Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan
pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran.
Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan pebelajar secara individual.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar